
Cinta yang sesungguhnya
Jamal jadi salah tingkah. Sepertinya Jamal menyadari kesalahannya. Heti masih menunggu beberapa saat untuk Jamal meralat lagi perkataanya, tapi Jamal memang tak mau melakukannya.
“Don, kita duduk di sana, yuk.” Heti menunjuk sepetak taman yang dikelilingi pagar besi. Di taman itu terdapat sebuah bangunan berukuran kecil berbentuk kotak yang di atasnya menempel empat patung pahlawan yang berasal dari daerah ini di masa Penjajahan Belanda. “Yuk.” Doni mendorong sepeda motor yang mesinnya telah mati itu ke pinggir dan menstandarkannya. Kedua muda-mudi ini pun pergi menuju bangunan itu. Lewat pintu pagar yang dibiarkan terbuka mereka masuk. Pada tonjolan semen yang memagari bunga-bunga dan tepat berada di bawah bangunan itu, keduanya duduk melepas lelah. Pinggang keduanya terasa pegal setelah hampir dua jam dengan mengendarai sepeda motor mengelilingi kota kecil ini.“Kamu haus?” Doni menatap wajah Heti. Heti mengangguk. “Tunggu di sini.” Bergegas Doni pergi. Baru juga Doni melangkah beberapa langkah Heti bertanya, “Mau ke mana?”Tanpa menghentikan langkah kepala Doni menengok. “Beli minuman!”Heti menatapi berpasang-pasang muda-mudi yang lalu lalang dengan bergandengan mesra melintas tak jauh dari taman tempatnya duduk. Pada malam Minggu, alun-alun ini oleh para remaja yang kasmaran memang dijadikan sebagai tempat memadu kasih. Mungkin alasan para remaja memilih tempat ini, karena tempat ini cukup nyaman dan jajanannya murah meriah. Sedangkan jika berpacaran di kafe-kafe harus memesan minuman atau makanan yang harganya lumayan mahal.Tak begitu lama, Doni sudah kembali dengan dua plastik es teh botol di kedua tangannya. Doni menyerahkah seplastik pada Heti. Heti menerimanya dan lewat sedotan langsung meminumnya. Doni duduk di sebelah Heti sambil meminum es teh botol juga. Keduanya tampak asyik menghilangkan rasa haus masing-masing tanpa sepatah kata pun yang terucap. Namun, dalam diamnya itu, sesungguhnya Doni tengah merenungi arti kebersamaanya selama hampir satu bulan ini bersama Heti.
Sebenarnya, ingin rasanya Doni menanyakannya pada Heti, tapi keberanian untuk itu tak kunjung hadir.Ya, Doni memang benar-benar tak mengerti mengapa perkenalannya dengan gadis secantik Heti sebulan lalu begitu mudahnya. Semua berawal dari Heti yang sebulan lalu mencari alamat kos teman satu sekolahnya dan nyasar ke rumah Doni. Doni yang kebetulan tahu alamat yang disebutkan Heti langsung mengantar Heti ke tempat kos tersebut yang memang berada di perkampungan tempat Doni tinggal. Setelah sampai di tempat kos itu, Heti mengucapkan terima kasih dan memperkenalkan diri. Doni pun menyebutkan namanya. Sebelum Doni kembali ke rumahnya, Heti memberikan nomor telepon rumahnya dan meminta Doni jika punya waktu meneleponnya. Selama beberapa hari, Doni mempertimbangkan menelepon Heti atau tidak. Tapi akhirnya, Doni memutuskan untuk menelepon Heti dengan berlagak menanyakan kabar Heti. Dan di telepon itulah Heti meminta pada Doni diajak jalan-jalan. Heti mengatakan tidak mempunyai teman cowok. Walau tidak begitu percaya dengan pendengaranya Doni pun menyetujuinya. Heti meminta Doni menjemputnya di sebuah tempat. Berawal dari itulah selama sebulan ini, Heti dan Doni lebih dari sepuluh kali menghabiskan waktu malam mereka berdua. “Abis ini kita ke mana lagi?” tanya Heti dengan menatap wajah Doni. Doni yang tengah melamun seraya meminum es teh botol ini sedikit terkejut karena pertanyaan itu.“Apa?”“Abis ini kita ke mana lagi?” ulang Heti. “Kita pulang aja, ya?”“Kok buru-buru? Ini kan malam Minggu.”“Udah malem. Aku takut orangtuamu mengkhawatirkanmu.”Heti menatap mata Doni yang tengah menatapnya. Dari sorot mata Doni itu, Heti menemukan kesungguhan dari ucapan Doni barusan. Heti merasakan Doni sebagai cowok yang pengertian.“Oke deh kita pulang.”Doni mendahului bangkit. Heti mengikuti. Keduanya berjalan menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh dari tempat itu.Heti benar-benar dalam keadaan bingung. Pasalnya, jam tujuh malam nanti, Jamal, kekasihnya, minta ketemuan di GR Ciceri untuk nonton konser Radja. Padahal, pada jam yang sama,
Heti juga punya janji mengantar Doni ke rumah sakit menengok kawannya yang dirawat karena tabrakan. Sebenarnya, Heti sudah menolak keinginan Jamal itu, tapi Jamal bersikeras agar Heti datang. Jamal mengancam putus jika Heti sampai tak datang. Selama sebulan ini, Jamal memang sudah terlalu sabar menghadapi sikap Heti yang seringkali membatalkan janjinya. Heti pun menyadari itu. Selama sebulan ini, setiap kali Doni mengajaknya keluar, Heti pasti membatalkan janjinya terhadap Jamal. Ya, ini semua dilakukannya bukan lantaran Heti sudah tak cinta lagi pada Jamal, tapi karena ia sudah berjanji dengan Seruni, sahabatnya yang juga adik kandung Doni, untuk menemani selama sebulan ini ke mana pun Doni minta ditemani tanpa boleh menolak. Dan sebagai imbalannya, Heti menerima uang di muka sebesar dua ratus ribu.Seruni melakukan itu karena Seruni tak ingin melihat kakaknya terus-terusan murung akibat dikhianati kekasihnya yang pacaran lagi. Makanya, Seruni membuatkan skenario perkenalan Jamal dan Heti. Seruni berharap luka hati kakaknya itu dapat terobati dengan kehadiran gadis secantik Heti. Sebenarnya, Heti ingin menolak uang pemberian Seruni yang sebesar dua ratus ribu itu. Karena Heti pikir, untuk membantu sahabat tak perlu pamrih. Tapi, Seruni terus memaksanya untuk menerima uang itu. Seruni beralasan, uang itu bukan bayaran tapi wujud terima kasihnya. Tapi, itu kan hanya kemasan bahasa saja, intinya tetap sama. Heti yang kebetulan memang tengah memiliki hutang akibat menjatuhkan HP kawanya hingga rusak, menerima juga uang itu dan uang itu ia gunakan untuk membetulkan HP tersebut.Saat Doni datang dengan motor bebeknya di depan rumah Heti, Heti sudah rapi berpakaian dengan duduk di ruang teras. Namun, sampai saat ini Heti masih bingung untuk menetukan pilihan, mengantar Doni ke rumah sakit atau memenuhi keinginan Jamal menonton konser Radja. Jika mengantar Doni ke rumah sakit, sebagai resikonya, Heti harus rela putus dengan Jamal, sedangkan jika memenuhi keinginan Jama,l berarti Heti mengingkari janjinya pada Seruni. Ah, Heti benar-benar bingung.
Heti bangkit menghampiri Doni. Kebingungan masih terlukis di wajahnya. Doni menangkap juga pancaran di wajah Heti itu.“Kamu kenapa?” tanya Doni menyelidik.“Enggak kok, enggak kenapa-napa.”“Ada sesuatu yang membebani kamu?”Heti mencoba tersenyum. “Enggak ada apa-apa, kok, Don. Aku hanya bingung nyari cincin emasku. Sepertinya aku lupa naro.”“Apa kita cari dulu?”“Enggak usah, deh, nanti juga ketemu.” Heti naik di boncengan. “Kamu udah pamit dengan kedua orangtuamu?”Heti mengangguk. Ya, setiap kali Doni hendak pergi bersama Heti, Doni selalu menanyakan hal ini.Doni menarik gas motornya. Motor itu pun melaju menyusuri gang menuju jalan raya.Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, Heti masih bingung. Sungguh ia pun tak ingin sampai putus dengan Jamal hanya gara-gara hal seperti ini. Ya, bagaimana pun Heti memang mencintai Jamal. Tiba-tiba saja di benak Heti muncul sebuah rencana. Heti menepuk bahu Doni. “Don, bisa antar aku sebentar enggak?” “Ke mana?”“Ke GR Ciceri.”Doni mengangguk. Tanpa banyak tanya lagi, Doni membelokkan laju motornya menuju GR Ciceri. “Berhenti di sini, Don.”Doni menuruti keinginan Heti dengan mengerem motornya. Heti melompat turun.“Tunggu di sini, ya, Don.”Doni mengangguk. Bergegas Heti pergi menuju suatu tempat berniat menemui Jamal. Di kawasan GR telah dipenuhi ratusan bahkan mungkin ribuan calon penonton yang sembilan puluh persennya terdiri dari usia remaja. Heti berhenti, kepalanya clingukan. Belasan meter di depan orang yang dicarinya tengah duduk di bangku penjual makanan. Segera Heti menghampirinya.“Mal,” pangil Heti. Yang dipanggil menolehkan kepalanya. Senyumnya mekar. “Kukira kamu enggak datang.”“Justru aku datang ke sini ingin menjelaskan sesuatu sama kamu.”“Menjelaskan apa lagi?” Dahi Jamal berkerut.“Sorry, ya, Mal, aku enggak bisa ikut nonton konser, aku harus nengokin sahabatku yang tabrakan dan kini tengah dirawat di rumah sakit.” Heti memasang mimik wajah memelas. Dengan begitu, ia berharap Jamal mau mengerti.“Aku tuh udah beli karcis dua, Het. Nengoknya nanti aja kan bisa.”“Mal… luka sahabatku itu parah, aku takut….”
“Keburu meninggal?” potong Jamal. “Kalau keburu meninggal itu namanya takdir. Dan kamu ditakdirkan untuk tidak menengoknya.”Heti tak mengira Jamal sebegitu egoisnya. Percuma saja Heti berbohong dengan mengatakan yang tabrakan sahabatnya. Ternyata, Jamal tak memiliki keperdulian pada sesama!“Udah telat lima menit nih, yuk.” Jamal menarik lengan Heti menuju pintu masuk gedung tempat konser Radja yang sebentar lagi dimulai itu. Dan Heti hanya bisa menurut tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, hanya batinnya yang mengkhawatirkan Doni. Sementara titik-titik air dari langit mulai jatuh membasahi bumi yang kian lama kian membesar. Heti berharap Doni pulang karena hujan ini.Pada pukul sembilan konser Radja selesai. Para penonton berdesakkan keluar dari gedung. Begitupun dengan Heti dan Jamal. Sesampainya sepasang kekasih ini di luar keadaan telah becek dan di jalanan yang berlubang tergenangi air. Saat sepasang kekasih ini berada di dalam gedung menonton konser Radja hujan deras memang turun.“Hai, Jamal!” Jamal yang tengah menggandeng mesra Heti menolehkan kepalanya ke arah suara yang memanggilnya. Heti pun melakukan hal yang sama. Berjarak sekitar lima meteran seorang gadis berdiri dengan tersenyum manis pada Jamal. Jamal pun balas tersenyum. Gadis itu berjalan menghampiri.Heti memperhatikan gadis itu dari kaki sampai kepala. Gadis itu benar-benar cantik seperti anak indo.“Kamu masih ingat aku?” ucapnya saat telah berada di dekat Jamal.“Tentu saja aku ingat.”Mendengar perkataan Jamal senyum gadis itu makin mekar.“Oh iya, kamu ke sini dengan siapa?” tanya Jamal menyadari gadis itu hanya sendirian.“Sendiri.”“Kok sendirian?”“Iya… sebenarnya aku tuh ke sini nyariin kamu. Tadi, sekitar pukul tujuh aku nelepon ke rumahmu. Kata orang rumah, kamu ke sini. Ya, aku ke sini nyari kamu dan aku juga nonton konser.”“Kamu masih nyimpen nomor telpon rumahku rupanya,” ucap Jamal pada raut wajahnya tergambarkan kebanggaan.“Ini….” Gadis itu menunjuk Heti.“Temen,” potong Jamal.“Apa!” Heti benar-benar tak terima dibilang temen di depan gadis cantik itu. Ditatapnya wajah Jamal lekat. Jamal jadi salah tingkah. Sepertinya, Jamal menyadari kesalahannya. Heti masih menunggu beberapa saat untuk Jamal meralat lagi perkataanya, tapi Jamal memang tak mau melakukannya. Mungkin karena berada di depan gadis cantik ini, Jamal tak mau melakukannya. Dengan hati hancur, Heti pergi meniggalkan tempat itu.Heti berjalan tergesah menuju jalan raya. Ia benar-benar tak mengira Jamal akan berbuat seperti itu hanya karena di depan seorang gadis cantik. Tiba-tiba saja sebuah suara memangil namanya, “Heti!”Heti menoleh. Di sebuah halte Doni tengah duduk. “Oh, Tuhan, apakah di tempat itu ia duduk menungguku?” batin Heti. Pukul tujuh tadi ia memang meminta Doni menunggunya di sekitar tempat ini. Heti segera berjalan menghampiri Doni. Doni pun segera bangkit dari duduknya.“Sedang apa kamu di sini, Don?” tanya Heti masih belum mengerti. Matanya menatap wajah Doni, yang masih menyisakan rona kecemasan.“Aku menungumu di sini.” “Kenapa masih menungguku?” Heti benar-benar tak mempercayai kekonyolan Doni yang demi menunggunya rela berada di tempat ini selama dua jam.“Sebenarnya, aku sudah sejak tadi ingin pergi, tapi saat perginya kamu kan bersamaku. Nanti apa yang akan aku pertanggungjawabkan di depan kedua orangtuamu jika terjadi apa-apa. Terlebih aku memang ingin memastikan tak terjadi apa-apa dengan kamu.” Sisa kecemasan di wajah Doni mulai memudar berganti dengan rona keceriaan.“Sebegitu bertanggungjawabnya dan perhatiannya kamu, Don,” jerit Heti dalam hati. Tanpa sadar, ia peluk tubuh Doni. Namun, segera ia melepaskan kembali pelukannya, karena pakaian Doni lembab. “Kenapa bajumu agak basah?”“Tadi, saat hujan gerimis aku pergi mencari kamu, aku kawatir terjadi apa-apa dengan kamu.”“Tentu saja kamu tak ‘kan menemukan aku, karena aku berada di dalam gedung menonton konser. Maafkan aku, Don,” sesal Heti dalam hati. Heti pun kembali memeluk Doni erat-erat tak peduli pakaian Doni yang lembab. Perlahan air matanya luruh bersama cintanya pada Doni yang mulai tumbuh. Dan dalam hatinya, Heti berkata, “Ni, mulai saat ini cintaku pada Doni bukanlah sebuah sekenario yang kamu buat, tapi cinta yang sesungguhnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar